PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Cultural studies atau
yang kita kenal sebagai studi kajian budaya merupakan hubungan atau
relasi antara kebudayaan dan kekuasaan. Storey dalam bukunya yang berjudul, Teori
Budaya dan Budaya Pop (An Introductory Guide to Cultural Theory and Popular
Studies, 1993) telah memetakan budaya pop dalam lanskap cultural studies.
Dalam bukunya yang lebih bersifat sebagai pengenalan ini, Storey lebih
memfokuskan kajiannya pada implikasi teoretis, implikasi metodologis, dan
percabangan yang terjadi pada saat-saat tertentu dalam sejarah kajian budaya
pop. Storey cenderung lebih memperlakukan teori budaya atau budaya popular sebagai
sebuah proses pembentukan wacana (discursive formation).
Dalam kajiannya yang cukup komprehensif tersebut,
Storey menempatkan Roland Barthes dalam subtopik “Strukturalisme dan
Pascastrukturalisme”. Barthes tidak hanya sering disalahpahami
konsep-konsepnya, tetapi juga seringkali dikategorikan sebagai seorang tokoh
strukturalisme atau poststrukturalisme dan ahli semiotika. Buku-buku yang
membicarakan Barthes terutama dalam bahasa Indonesia, seringkali terbatas dalam
kategorikategori tersebut. Tidak hanya itu, buku-buku berbahasa Indonesia yang
khusus berbicara tentang pemikir Prancis yang lahir pada 1915 di Cherbourg,
Prancis ini, tidak lebih dari hitungan jari. Sebut saja misalnya: Semiologi
Roland Barthes oleh Kurniawan (2001), Barthes, Seri Pengantar Singkat edisi
terjemahan tulisan Jonathan Culler (2003), dan Semiotika Negativa karya
St. Sunardi (2004). Adapun Karya-karya Barthes tentang analisis sejumlah
fenomena budaya pop antara lain Mythologies, The Fashion System, dan Camera
Lucida.
Di Indonesia, Roland Barthes seringkali dikutip
pendapatnya tentang semiotika (semiologi) terutama tentang konsep
pemaknaan konotatif atau yang lebih dikenal istilah second order semiotic
system. Semiotika berasal dari bahasa Yunani: semeion yang berarti
tanda. Semiotika adalah model penelitian yang memperhatikan tanda-tanda. Tanda
tersebut mewakili sesuatu objek representatif. Istilah semiotik sering
digunakan bersama dengan istilah semiologi. Istilah pertama merujuk pada sebuah
disiplin sedangkan istilah kedua merujuk pada ilmu tentangnya. Istilah semiotik
lebih mengarah pada tradisi Saussurean yang diikuti oleh Charles Sanders Pierce
dan Umberto Eco, sedangkan istilah semiologi lebih banyak dipakai oleh Barthes.
Baik semiotik ataupun semiologi merupakan cabang penelitian sastra atau sebuah
pendekatan keilmuan yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda.
1.2
Rumusan
Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai
berikut.
1. Apakah
yang dimaksud semiotika?
2. Bagaimana
prinsip-prinsip semiotika menurut Roland Barthes?
3. Bagaimana
pandangan Roland Barthes tentang praktik budaya kontemporer dalam
karya-karyanya?
1.3
Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut.
1. Memaparkan
tentang semiotika
2. Menjelaskan
prinsip-prinsip semiotika menurut Roland Barthes
3. Memaparkan
pandangan Roland Barthes tentang praktik budaya kontemporer dalam
karya-karyanya
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Semiotika
Alex Sobur
mendefinisikan semiotika sebagai suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji
tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha
mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia.
Semiotika—atau dalam istilah Barthes, semiologi—pada dasarnya hendak mempelajari
bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).
Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek
tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur
dari tanda.
Sedangkan Van Zoest seperti dikutip oleh
Rahayu S. Hidayat menjelaskan bahwa semiotika mengkaji tanda, penggunaan tanda,
dan segala sesuatu yang bertalian dengan tanda. Berbicara tentang kegunaan
semiotika tidak dapat dilepaskan dari pragamatik, yaitu untuk mengetahui apa
yang dilakukan dengan tanda, apa reaksi manusia ketika berhadapan dengan tanda.
Dengan kata lain, permasalahannya terdapat pada produksi daan konsumsi arti.
Semiotika dapat diterapkan di berbagai bidang antara lain: semiotika musik,
semiotika bahasa tulis, semiotika komunikasi visual, semiotika kode budaya,
dsb. Pengkajian kartun masuk dalam ranah semiotika visual.
Awal mulanya konsep semiotik
diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda: signified dan
signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis. Konsep ini
melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in
absentia antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier).
Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide
atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang
bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material
dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau
dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda
adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180).
Suatu penanda tanpa petanda tidak
berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda
tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang
dtandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor
linguistik. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari
sehelai kertas,” kata Saussure.
Terdapat tiga bidang
kajian dalam semiotika: pertama, semiotika komunikasi yang menekuni
tanda sebagai bagian bagian dari proses komunikasi. Artinya, di sini tanda
hanya dianggap tanda sebagaimana yang dimaksudkan pengirim dan sebagaimana yang
diterima oleh penerima. Dengan kata lain, semiotika komunikasi memperhatikan
denotasi suatu tanda. Pengikut aliran ini adalah Buyssens, Prieto, dan Mounin.
Kedua, semiotika konotasi, yaitu yang mempelajari makna konotasi dari
tanda. Dalam hubungan antarmanusia, sering terjadi tanda yang diberikan
seseorang dipahami secara berbeda oleh penerimanya. Semiotika konotatif sangat
berkembang dalam pengkajian karya sastra. Tokoh utamanya adalah Roland Barthes,
yang menekuni makna kedua di balik bentuk tertentu. Yang ketiga adalah semiotika
ekspansif dengan tokohnya yang paling terkenal Julia Kristeva. Dalam
semiotika jenis ini, pengertian tanda kehilangan tempat sentralnya karena
digantikan oleh pengertian produksi arti. Tujuan semiotika ekspansif adalah
mengejar ilmu total dan bermimpi menggantikan filsafat.
Louis Hjelmslev, seorang
penganut Saussurean berpandangan bahwa sebuah tanda tidak hanya mengandung
hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda),
namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas
di luar dirinya. Bagi Hjelmslev, sebuah tanda lebih merupakan self-reflective dalam artian bahwa
sebuah penanda dan sebuah petanda masing-masing harus secara berturut-turut menjadi
kemampuan dari ekspresi dan persepsi. Louis Hjelmslev dikenal dengan teori
metasemiotik (scientific semiotics).
Sama halnya dengan Hjelmslev, Roland
Barthes pun merupakan pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem
tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam
waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya
hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity)
memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat
dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to
communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa
informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga
mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang
dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun
merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktivan pembaca agar dapat berfungsi.
Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem
pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada
sebelumnya. sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di
dalam buku Mythologies-nya secara tegas
ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama.
2.2 Prinsip
Semiotika Menurut Roland Barthes
Roland Barthes adalah
penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan
kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik
pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang
berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes
meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan
pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam
teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan
Barthes ini dikenal dengan “order of
signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan
konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di
sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap
mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.
Bagan 1. Semiotika menurut Roland Barthes
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos”
yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat
kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda
tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan
membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi
kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan
menjadi mitos. Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan
konotasi “keramat” karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi
“keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol
pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah
konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap
ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos. (http://bambangsukmawijaya.wordpress.com/2008/02/19/teori-teori-semiotika-sebuah-pengantar/)
Menurut Barthes penanda
(signifier) adalah teks, sedangkan petanda (signified) merupakan konteks tanda
(sign)
|
2.
SIGNIFIED
|
||||||
3.
SIGN
|
II.
SIGNIFIED
|
||||||
III.
SIGN
|
WARNA
|
|
|||
WARNA
|
TAHAP II à KONOTASI
|
Dua Mawar
dalam satu tangkai
|
Dua Mawar
akan mekar ditangkainya
|
HASRAT CINTA
MEKAR DI SEGALA MASA
|
||
Hasrat cinta
abadi seperti bunga yang tetap bermekaran pada segala masa
|
Bagan
2. Mitos : kekuatan cinta mengatasi segalanya
Dalam menelaah tanda, kita dapat membedakannya dalam dua
tahap. Pada tahap pertama, tanda dapat dilihat latar belakangnya pada (1)
penanda dan (2) petandanya. Tahap ini lebih melihat tanda secara denotatif.
Tahap denotasi ini baru menelaah tanda secara bahasa. Dari pemahaman bahasa
ini, kita dapat masuk ke tahap kedua, yakni menelaah tanda secara konotatif.
Pada tahap ini konteks budaya, misalnya, sudah ikut berperan dalam penelaahan
tersebut. Dalam contoh di atas, pada tahap I, tanda berupa bunga mawar ini baru
dimaknai secara denotatif, yaitu penandanya berwujud dua kuntum mawar pada satu
tangkai. Jika dilihat konteksnya, bunga mawar itu memberi petanda mereka
akan mekar bersamaan di tangkai tersebut. Jika tanda pada tahap I ini dijadikan
pijakan untuk masuk ke tahap II, maka secara konotatif dapat diberi makna bahwa
bunga mawar yang akan mekar itu merupakan hasrat cinta yang abadi. Bukankah
dalam budaya kita, bunga adalah lambang cinta? Atas dasar ini, kita dapat
sampai pada tanda (sign) yang lebih dalam maknanya, bahwa hasrat
cinta itu abadi seperti bunga yang tetap bermekaran di segala masa. Makna
denotatif dan konotatif ini jika digabung akan membawa kita pada sebuah mitos,
bahwa kekuatan cinta itu abadi dan mampu mengatasi segalanya.
Roland
Barthes (1915-1980) menggunakan teori siginifiant-signifié dan muncul
dengan teori mengenai konotasi. Perbedaan pokoknya adalah Barthes menekankan
teorinya pada mitos dan pada masyarakat budaya tertentu (bukan individual).
Barthes mengemukakan bahwa semua hal yang dianggap wajar di dalam suatu
masyarakat adalah hasil dari proses konotasi. Perbedaan lainnya adalah pada
penekanan konteks pada penandaan. Barthes menggunakan istilah expression (bentuk, ekspresi, untuk
signifiant) dan contenu (isi, untuk
signifiè). Secara teoritis bahasa sebagai sistem memang statis, misalnya meja hijau memang berarti meja yang
berwarna hijau. Ini disebutnya bahasa sebagai first order. Namun bahasa sebagai second order mengijinkan kata meja
hijau mengemban makna “persidangan”.
Lapis kedua ini yang disebut konotasi.
Derrida
membangun teorinya dengan argumen yang bertolak belakang dengan pemikiran
Husserl. Husserl mengemukakan bahwa makna ujaran adalah yang diinginkan oleh
pemroduksi tuturan. Bahasa yang utama adalah tuturan. Bagi Derrida, bahasa
bersifat memenuhi dirinya sendiri (self-sfuficient),
dan bahkan terbebas dari manusia. Derrida melihat bahasa bersumber pda
“tulisan”. Tulisan adalah bahasa yang secara maksimal memnuhi dirinya sendiri
karena tulisan menguasai ruang ruang secara maksimal pula. Sebenarnya pemaknaan
yang dilakukan oleh Derrida adalah pemaknaan membongkar dan menganalisis secara
kritis (critical analysis). Teori ini
bertolak dari teori Saussure tentang tanda.
2.3 Pandangan
Roland Barthes dalam Karya-karyanya
Apa yang dilakukan Barthes dalam analisisnya terhadap
sejumlah fenomena budaya pop seperti
dalam Mythologies, The Fashion System, ataupun Camera Lucida, memang
tidak terkait dengan apa yang dilakukan oleh Hoggart maupun Williams di Inggris.
Bahkan Barthes menulis kajian terhadap budaya massa lebih awal, yakni pada
tahun 1954-1956 yang secara reguler dia tulis untuk sejumlah media yang
kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul Mythologies; dibandingkan
tulisan-tulisan Hoggart maupun Williams untuk The Birmingham Center for
Contemporary Cultural Studies. Tulisan Hoggart yang berjudul The Uses of
Literacy (tentang kegelisahan anak-anak muda terutama kelompok “the
juke-box boys”), yang dianggap sebagai tonggak school of thought kajian
budaya di Inggris, diterbitkan pada 1957. Oleh karena itu, Barthes dapat
digolongkan sebagai salah satu tokoh cultural studies dari kutub
pemikir Prancis selain dari Inggris yang seringkali dikutip sebagai cikal bakal
berdirinya kajian budaya ini.
1)
Mythologies
Buku Barthes yang berjudul Mythologies terdiri
atas dua subbab, yakni: (1) “Mythologies”, dan (2) “Myth
Today”. Jangan berharap kalau dalam buku ini Barthes membicarakan dan
mengulas tokoh-tokoh mitologi Yunani atau Romawi seperti Zeus dan
dewa-dewa Olympus lainnya, Hercules dan hero-hero lainnya,
ataupun rentetan Perang Troya sebagaimana dikisahkan dalam Iliad dan Odiseus
yang sangat dikenal tidak hanya oleh masyarakat Eropa tetapi juga
di belahan bumi lainnya termasuk di Indonesia. Barthes sama
sekali tidak menyinggung peristiwa maupun tokoh mistis dan legendaris
tersebut.
Pada bagian pertama buku Mythologies, Barthes
mengungkapkan topik-topik kontemporer semacam dunia gulat, romantisme dalam
film, anggur dan susu, irisan steak, wajah Garbo, otak Einstein, manusia Jet,
masakan ornamental, novel dan anak-anak, mainan (toys), mobil Citroën,
plastik, fotografi, tarian striptease, dan topik-topik pop lainnya. Sebagaimana
dinyatakan dalam pengantarnya pada cetakan pertama (1957), Barthes menyatakan
bahwa tulisan-tulisannya dalam buku ini merupakan sejumlah esai tentang
topik-topik masa itu yang dia tulis setiap bulan untuk sejumlah media massa.
Topik-topik yang menarik perhatiannya ini, tidak
lain merupakan refleksi atas mitos-mitos baru masyarakat Prancis kontemporer.
Lewat berbagai analisisnya tentang peristiwa-peristiwa yang ditemuinya dalam
artikel surat kabar, fotografi dalam majalah mingguan, film, pertunjukan,
ataupun pameran, Barthes mengungkapkan sejumlah mitos-mitos modern yang
tersembunyi di balik semua hal itu. Mitos inilah yang oleh Barthes disebut
sebagai second order semiotic system, yang harus diungkap signifikansinya.
Mitos merupakan salah satu type of speech. Jabarannya mengenai konsep
mitos-mitos masa kini sebagai kajian sistem tanda dibicarakan pada subbab yang
kedua yang berjudul “Myth Today”.
2)
Fashion
Dalam buku The Fashion System, Barthes
membicarakan panjang lebar mengenai dunia mode. Sebagaimana bukunya yang
terdahulu, dalam buku ini Barthes juga membicarakan operasi struktur penanda (signifier)
mode, struktur petanda (signified)-nya, dan struktur sign atau
signifikansinya. Memang kajian mode atau fashion Barthes tidak terlepas
dari bidang semiotika yang selama ini dikembangkannya.
Dunia mode merupakan proyek model kaum aristokrat
sebagai salah satu bentuk atau wujud pretise. Pada perkembangan berikutnya,
model pakaian seseorang juga harus disesuaikan dengan fungsinya sebagai tanda,
yang membedakan antara pakaian untuk kantoran, olah raga, liburan, berburu, upacara-upacara
tertentu, bahkan untuk musim-musim tertentu seperti pakaian musim dingin, musim
semi, musim panas ataupun musim gugur. Manusia pengguna pakaian yang mengikuti trend
akan mengejar apa yang tengah menjadi simbol status kelas menengah atas.
Yang tidak mengikuti arus dunia mode akan dikatakan manusia yang tidak fashionable
alias ketinggalan mode.
Tata busana tidak lagi menjadi sekedar pakaian
tetapi juga telah menjadi mode, menjadi peragaan busana, menjadi sebuah
tontonan yang memiliki prestisenya tersendiri, menjadi simbol status kehidupan.
Hal ini tidak hanya terjadi di dunia Barat saja, tetapi juga tengah melanda
Indonesia. Barthes tidak salah membidik salah satu aspek ini, yakni mode,
sebagai salah satu kajiannya, mengingat Paris merupakan kiblat mode dunia. Begitulah,
salah satu topik pembicaraan Barthes tentang aspek kebudayaan massa yakni tentang
dunia mode. Dunia yang kini penuh dengan kemewahan para model yang
memperagakannya di sejumlah catwalk pusat-pusat peragaan busana di
berbagai kota metropolis. Status seseorang dalam masyarakat seringkali
dicitrakan melalui merk dan rancangan siapa pakaian yang dikenakannya. Padahal kalau
ditelusuri, dunia mode adalah salah satu pelegitimasi ideologi gender yang
selama ini sering dikonter oleh para feminis.
3)
Camera
Selain bicara tentang mode, Barthes juga berbicara
tentang foto, khususnya tentang foto-foto dalam media massa dan iklan. Hal ini
diungkapkannya dalam dua artikelnya, “The Photographic Message” pada
1961 dan “Rethoric of the Image” juga pada 1961. Lewat dua artikelnya
ini, Barthes menguraikan makna-makna konotatif yang terdapat dalam sejumlah
foto dalam media massa dan iklan. Foto sebagai salah satu sarana yang sanggup
menghadirkan pesan secara langsung (sebagai analogon atau denotasi) dapat
meyakinkan seseorang (pembaca berita atau iklan) bahwa peristiwa tersebut sudah
dilihat oleh seseorang, yakni fotografer. Akan tetapi, di balik peristiwa
tersebut, ternyata foto juga mengandung pesan simbolik (coded-iconic message)
yang menuntut pembacanya untuk menghubungkannya dengan “pengetahuan” yang telah
dimiliki sebelumnya.
Di sejumlah media massa Indonesia pada tahun 1998,
ketika Presiden Soeharto menandatangani LoI dengan IMF, tampak Camdesus tengah
memperhatikan Soeharto yang tengah membubuhkan tanda tangan. Wakil IMF itu
berdiri mengawasi dengan posisi tangan bersedekap. Sebagai analogon atau makna
denotasi, foto ini hanya menyatakan telah terjadi penandatangan nota persetujuan
antara RI yang diwakili Soeharto dengan IMF yang diwakili Camdesus. Akan tetapi,
posisi tangan Camdesus dan caranya memandang Soeharto membubuhkan tanda tangan
secara konotatif memaknakan dia telah menaklukkan seorang pemimpin yang telah
32 tahun berkuasa.
Contoh-contoh analisis semacam inilah yang
dikemukakan Barthes dalam analisisnya tentang sejumlah foto. Salah satunya
tentang seorang tentara berkulit hitam yang mengenakan seragam militer Prancis
yang tengah memberikan penghormatan militer, matanya terpancang pada bendera
nasional. Foto ini menjadi sampul dari majalah Paris-Match. Dalam
analisisnya, Barthes menyatakan bahwa foto itu ingin menyatakan Prancis sebagai
sebuah negara besar, tempat para putranya, tanpa diskriminasi warna kulit,
dengan penuh setia, melayani bangsa di bawah kibaran benderanya. Foto itu
merupakan konter atas para pencela kolonialisme (Culler, 2003:52).
Seorang fotografer dalam memotret meringkali
memperhatikan pose, objek yang dipilihnya, logo-teknik, dan juga sejumlah
manipulasi demi tercapainya apa yang hendak “ditulisnya”. Hal ini seringkali
ditemukan dalam sejumlah media cetak, terlebih lagi pada iklan yang lebih
menekankan kekuatan foto pada aspek-aspek daya tariknya sebagai sarana
persuasif yang seringkali memanfaatkan tema-tema keintiman, seks, kekhawatiran,
dan idola (St. Sunardi, 2004:157-158).
Hanya dalam buku Camera Lucida, Barthes tidak
memfokuskan pada foto-foto dalam media massa dan iklan tetapi memfokuskan
kajiannya pada koleksi foto-foto pribadinya. Berbeda dengan pendekatannya pada
dua artikelnya pada 1961 yang lebih memusatkan analisisnya pada semiotik atas foto
sebagai produk budaya, dalam Camera Lucida, Barthes menyebutnya dengan
pendekatan fenomenologi sinis. Dalam memandang sebuah foto, dibutuhkan sebuah
pengalaman, tapi bukan sembarang pengalaman, melainkan pengalaman seseorang
yang mempunyai kemampuan untuk membahasakan secara indah. Memadang foto
merupakan ziarah menuju jati dirinya yang melewati tahap eksplorasi, animasi,
dan afeksi. Pengalaman-pengalaman inilah yang menjadi ukuran Barthes untuk
menilai kualitas foto, karena tidak setiap foto membuat kita terpaku pada satu
titik (St. Sunardi, 2004:166).
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Adapun simpulan dalam
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Berdasarkan
berbagai pendapat ahli, dapat disimpulkan bahwa semiotika atau semiologi merupakan
cabang penelitian sastra atau sebuah pendekatan keilmuan yang mempelajari
hubungan antara tanda-tanda.
2. Gagasan
Barthes ini dikenal dengan “order of
signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan
konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal).
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai
suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua
penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda
tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan
membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi
kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan
menjadi mitos
3. Roland
Barthes juga menganalisis tentang sejumlah fenomena budaya pop seperti dalam Mythologies,
The Fashion System, ataupun Camera Lucida. Rupanya peristiwa sehari-hari, foto, atau gaya berpakaian juga dapat
dianalisis dengan kajian semiotik yang memiliki makna konotasi dan denotasi.
DAFTAR PUSTAKA
Culler,
Jonathan. 2002. Barthes, Seri Pengantar Singkat (terjemahan Ruslani).
Yogyakarta: Jendela.
Kurniawan. 2001.
Semiologi Roland Barthes. Magelang: Indonesiatera.
Sumawijaya,
Bambang. 2008. Teori-teori Semiotika,
Sebuah Pengantar. http://bambangsukmawijaya.wordpress.com/2008/02/19/teori-teori-semiotika-sebuah-pengantar/ (diunduh pada tanggal 22 september 2012)
Swandayani,
Dian. 2005. Tokoh Cultural Studies
Perancis: Roland Barthes. Makalah dipresentasikan dalam Seminar
Internasional Rumpun Sastra, Fakultas Bahasa dan Seni, UNY Yogyakarta, pada 14—15
September 2005