Semiotika adalah ilmu tentang tanda. Salah satu tokoh penting semiotika adalah Roland Barthes. Ia banyak menulis buku seputar semiotika, antara lain Mythologies (1973), Element of Semiology (1977), The Fashion System (1983), dan Camera Lucida (1994).
Teori semiotika yang secara singkat diungkapkan di bawah ini kerap digunakan untuk menelaah tanda-tanda dalam bentuk iklan. Dengan teori ini, sebuah iklan tidak hanya bisa ditelaah secara apa yang tersurat, melainkan juga yang bisa sampai pada mitos di baliknya. Jika kita melihat iklan rokok di televisi, hampir tidak kita jumpai wujud fisik rokok diperlihatkan di sana. Bahkan anjuran untuk merokok pun tidak tersajikan. Sebaliknya, pada akhir iklan justru ada pesan bahwa rokok itu membahayakan kesehatan. Namun, kita tidak dapat menghindari bahwa iklan ini membawa pesan tertentu, bahkan sampai pada sebuah mitos yang ingin terus dipelihara bahwa merokok itu jantan (macho), supel, trendy, cekatan, disukai lawan jenis, dan berbagai karakter positif lainnya.
Tentu saja, "sign" di sini tidak harus berupa iklan. Ia dapat berarti teks apa saja, termasuk klausula peraturan perundang-undangan dan rambu-rambu lalu lintas. Secara ringkas teori dari Barthes ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Dalam menelaah tanda, kita dapat membedakannya dalam dua tahap. Pada tahap pertama, tanda dapat dilihat latar belakangnya pada (1) penanda dan (2) petandanya. Tahap ini lebih melihat tanda secara denotatif. Tahap denotasi ini baru menelaah tanda secara bahasa. Dari pemahaman bahasa ini, kita dapat masuk ke tahap kedua, yakni menelaah tanda secara konotatif. Pada tahap ini konteks budaya, misalnya, sudah ikut berperan dalam penelaahan tersebut. Dalam contoh di atas, pada tahap I, tanda berupa BUNGA MAWAR ini baru dimaknai secara denotatif, yaitu penandanya berwujud dua kuntum mawar pada satu tangkai. Jika dilihat konteksnya, bunga mawar itu memberi petanda mereka akan mekar bersamaan di tangkai tersebut. Jika tanda pada tahap I ini dijadikan pijakan untuk masuk ke tahap II, maka secara konotatif dapat diberi makna bahwa bunga mawar yang akan mekar itu merupakan hasrat cinta yang abadi. Bukankah dalam budaya kita, bunga adalah lambang cinta? Atas dasar ini, kita dapat sampai pada tanda (sign) yang lebih dalam maknanya, bahwa hasrat cimta itu abadi seperti bunga yang tetap bermekaran di segala masa. Makna denotatif dan konotatif ini jika digabung akan membawa kita pada sebuah mitos, bahwa kekuatan cinta itu abadi dan mampu mengatasi segalanya.
Teori semiotika, termasuk yang disampaikan oleh Barthes, tentu memiliki kelemahan. Dari gambaran di atas dapat dirasakan betapa kuat dimensi subjektivitas tatkala kita membuat penafsiran-penafsiran ini. (*)