Editor's Vids

Teori Tanda Saussure

BAB I
PENDAHULUAN
  1. A. LATAR BELAKANG
Sebagai makhluk yang hidup di dalam masyarakat dan selalu melakukan interaksi dengan masyarakat lainnya tentu membutuhkan suatu alat komunikasi agar bisa saling memahami tentang suatu hal. Apa yang perlu dipahami? Banyak hal salah satunya adalah tanda. Supaya tanda itu bisa dipahami secara benar dan sama membutuhkan konsep yang sama supaya tidak terjadi misunderstanding atau salah pengertian. Namun pada kenyataannya tanda itu tidak selamanya bisa dipahami secara benar dan sama di antara masyarakat. Setiap orang memiliki interpretasi makna tersendiri dan tentu saja dengan berbagai alasan yang melatarbelakanginya. Ilmu yang membahas tentang tanda disebut semiotik ( the study of signs). Masyarakat selalu bertanya apa yang dimaksud dengan tanda? Banyak tanda dalam kehidupan sehari -hari kita seperti tanda-tanda lalu lintas, tanda-tanda adanya suatu peristiwa atau tanda -tanda lainnya.
Semiotik meliputi studi seluruh tanda-tanda tersebut sehingga masyarakat berasumsi bahwa semiotik hanya meliputi tanda-tanda visual (visual sign). Di samping itu sebenarnya masih banyak hal lain yang dapat kita jelaskan seperti tanda yang dapat berupa gambaran, lukisan dan foto sehingga tanda juga termasuk dalam seni dan fotografi. Atau tanda juga bisa mengacu pada kata-kata, bunyi-bunyi dan bahasa tubuh (body language). Kalau kita telusuri dalam buku-buku semiotik yang ada,hampir sebagian besar menyebutkan bahwa ilmu semiotik bermula dari ilmu linguistik dengan tokohnya Ferdinand de Saussure (1857 – 1913). de Saussure tidak hanya dikenal sebagai Bapak Linguistik tetapi juga banyak dirujuk sebagai tokoh semiotik dalam bukunya Course in General Linguistics (1916).Semiotika merupakan istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau sign dalam bahasa Inggris itu adalah ‘ilmu yang mempelajari sistem tanda ‘ seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Tanda-tanda adalah basis dari seluruh komunikasi (littlejhon:1996). Manusia dengan perantaraan tanda-tanda, dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. Banyak hal bisa dikomunikasikan di dunia ini.
Secara umum, semiotik didefinisikan sebagai berikut. Semiotics is usually defined as a general philosophical theory dealing with the production of signs and symbols as part of code systems which are used to communicate information. Semiotics includes visual and verbal as well as tactile and olfactory signs (all signs or signals which are accessible to and can be perceived by all our senses) as they form code systems which systematically communicate information or massages in literary every field of human behaviour and enterprise. “Semiotik biasanya didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory ( semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki ) ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia”.
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampur adukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.
  1. B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang saya ambil berdasarkan pemaparan latar belakang diatas yaitu :
  1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan “ TANDA “ menurut Teori Saussure ?
  2. Jelaskan apakah makna dari kata “ TANDA “ ?
  3. Sebutkan dan jelaskan macam-macam semiotik?

  1. C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan dibuatnya makalah ini yaitu untuk menjadi referensi bagi kita sebagai mahasiswa maupun khalayak umum yang membacanya agar lebih mengetahui tentang teori semiotik ( tanda, sign ) yang bermula dari seorang tokoh yang sangat terkenal dibidang linguistik yaitu Ferdinand de Saussure atau biasa disebut dengan Bapak Linguistik. Didalam makalah ini juga dijelaskan apa makna dari sebuah kata “ TANDA” serta macam-macam semiotik yang dikenal dalam ilmu linguistik atau ilmu tentang kebahasaan.
  1. D. MANFAAT PENULISAN
Karena adanya penulisan tentang teori semiotik atau teori tentang tanda ini, diharap memberikan manfaat sebagai berikut :
  1. Memberikan pengetahuan serta informasi tentang teori tanda ( Semiotik ) menurut Ferdinand de saussure.
  2. Memberikan pengetahuan tentang makna “ Tanda”.
  3. Mengetahui macam-macam semiotik yang dikenal dalam ilmu linguistik.



BAB II.
PEMBAHASAN
  1. A. TEORI TANDA MENURUT FERDINAND SAUSSURE
Ferdinand de Saussure yang berperan besar dalam pencetusan Strukturalisme, juga memperkenalkan konsep semologi (sémiologie; Saussure, 1972:33)1. Ia bertolak dari pendapatnya tentang langue yang merupakan sistem tanda yang mengungkapkan gagasan. Namun, ia pun menyadari bahwa di samping itu, ada sistem tanda alfabet bagi tunarungu dan tunawicara, simbol-simbol dalam upacara ritual, tanda dalam bidang militer, dan sebagainya. Saussure berpendapat bahwa langue adalah sistem yang terpenting. Oleh karena itu, dapat dibentuk sebuah ilmu lain yang mengkaji tanda-tanda dalam kehidupan sosial yang menjadi bagian dari psikologi sosial; ia menamakannya sémiologie. Kata tersebut berasal dari bahasa Yunani sēmeîon yang bermakna „tanda‟. Linguistik merupakan bagian dari ilmu yang mencakupi semua tanda itu. Kaidah semiotik dapat diterapkan pada linguistik.
Konsep “tanda” disebarluaskan oleh para murid saussure, seperti Bally dan Sechehaye dalam buku Coures de linguistique generale. Seperti yang ditemukan didalam ajaran Saussure itu, konsep tanda mendominasi perkembangan linguistik dan semiologi Eropa. Konsep itu tetap dipahami oleh para pemikir Anglo-Saxon, dan memang disengaja ditolak oleh beberapa pemikir Amerika.
Pokok dari teori Saussure adalah prinsip yang mengatakan bahwa bahasa itu adalah suatu sistem tanda dan setiap tanda tersusun dari dua bagian, yaitu signifier dan signified. Menurut Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (sign). Saussure menggunakan pendekatan anti-historis yang melihat bahasa sebagai sistem yang utuh dan harmonis secara internal (language). Ia mengusulkan teori bahasa yang disebut “strukturalisme”. Sedikitnya ada tujuh pandangan dari Saussure yang dikemudian hari menjadi peletak dasar dari strukturalisme Levi-Strauss, yaitu pandangan tentang :
  • Signifier (penanda) dan signified (petanda)
Saussure berpendapat bahwa elemen dasar bahasa adalah tanda-tanda linguistik atau tanda-tanda kebahasaan, yang biasa disebut juga ‘kata-kata’. Tanda menurut Saussure merupakan kesatuan dari penanda dan petanda. Walaupun penanda dan petanda tampak sebagai entitas yang terpisah namun keduanya hanya ada sebagai komponen dari tanda. Tandalah yang merupakan fakta dasar dari bahasa. Artinya kedua hal dari tanda itu tidak dapat dipisahkan. jika pemisahan berlaku maka hanya akan menghancurkan ‘kata’ tersebut.
Selanjutnya tanda kebahasaan menurut Saussure bersifat arbitrair, atau semena-mena. Artinya tidak ada hubungan alami dari petanda dan penanda. Sebagai contoh tentang ini bahwa orang tidak dapat mengerti mengapa hewan yang selalu digunakan sebagai kendaraan tunggangan tersebut bernama ‘kuda’, atau orang jawa katakan sebagai ‘jaran’. Tanda kebahasaan tersebut tidak dapat dipikirkan sebabnya, tetapi semua orang dapat mengerti bahwa itu ‘kuda’, atau ‘jaran’, tanpa harus memperdebatkannya. Inilah semena-mena yang lalu tersepakati tanpa kesepakatan formal.
  • Syntagmatic dan associative ( paradigmatik)
Sebagaimana diuraikan di atas, ada dua sifat utama tanda bahasa sebagai objek linguistik, yakni arbitrer dan linier. Kelinieran tanda bahasa –menurut Saussure– akan memberikan implikasi luar biasa kepada linguistik. Dalam rangkaian wicara pelbagai mata rantai berurutan sesuai dengan urutan waktu, tetapi tidak ada alasan yang jelas mengapa satu mata rantai mengikat mata rantai yang lain. Sekalipun kita tidak dapat melihat mengapa suatu kombinasi dibolehkan dan yang lain tidak, namun kita dapat menentukan kaidah-kaidah bagi konstruksi yang dibolehkan dengan menyimak mata rantai dalam ujaran dan meneliti mata rantai yang mungkin muncul.
Setiap mata rantai dalam rangkaian wicara mengingatkan orang pada satuan bahasa lain karena satuan itu serupa atau berbeda dari yang lain dalam bentuk dan makna. Inilah yang disebutnya hubungan-hubungan asosiatif atau paradigmatik menurut salah seorang pengikut Saussure, Louis Hjelmslev, seorang ahli linguistik Denmark. Hubungan ini disebut hubungan in absentia karena butir-butir yang dihubungkan itu ada yang muncul, ada yang tidak dalam ujaran.
Yang dimaksud dengan hubungan-hubungan sintagmatik adalah hubungan di antara mata rantai dalam suatu rangkaian ujaran. Hubungan ini disebut in praesentia karena butir-butir yang dihubungkan itu ada bersama dalam wicara. Suatu sintagma dapat berupa satuan berurutan apa saja yang jelas batasnya; jumlahnya sekurang-kurangnya ada dua. Segmen itu bisa berupa fonem, kata, frasa dan sebagainya.
Menurut Saussure, bentuk-bentuk bahasa dapat diuraikan secara cermat dengan meneliti hubungan asosiatif (atau paradigmatik) dan hubungan sintagmatik itu. Ia menekankan pentingnya gagasan itu dengan memberi contoh dari dunia luar linguistik, yakni tiang bangunan. Tiang itu berhubungan satu sama lain dan dengan bagian lain dari bangunan (secara sintagmatik karena hubungan ada bersama sekaligus) dan berhubungan dengan jenis tiang lain yang bisa saja dipergunakan (secara asosiatif di antara tiang yang ada itu dengan tiang lain yang mungkin terpikir oleh kita, tetapi tidak ada).
Ringkasnya, hubungan asosiatif (pardigmatik) adalah hubungan derivatif atau inflektif serangkaian bentuk jadian dengan bentuk dasar unit bahasa; sedangkan hubungan sintagmatik ialah hubungan yang diperoleh jika satuan-satuan diletakkan bersama dalam satu tindak wicara.
  • Langue (bahasa) dan parole (tuturan, ujaran), langage.
Dalam pengertian umum, “langue” adalah abstarksi dan artikulasi bahasa pada tingkat sosial budaya, sedangkan “parole” merupakan expresi bahasa pada tingkat individu. Pandangan Saussure bahwa penyelidikan ilmiah terhadap bahasa tidak harus dilakukan secara historis dipengaruhi oleh Emile Durkheim (1858-1917) dalam karyanya Des Regles de la Methode Sociologiques (1885). Memang Saussure tidak pernah menyebutkan karya Durkheim sebagai inspirasi penyelidikan ilmiahnya, tetapi dari catatan-catatan kulihnya nyata bahwa ia memperhatikan teori Durkheim tersebut (Baert, 1998:17).
Untuk menjelaskan objek penelitian bahasa, Saussure mengenalkan tiga istilah dalam bahasa Perancis mengenai bahasa, yakni langue, parole dan langage (Baert, 1998:17). Yang dimaksud dengan parole ialah keseluruhan apa yang diujarkan orang, termasuk konstruksi-konstruksi individu yang muncul dari pilihan penutur, atau pengucapan-pengucapan yang diperlukan untuk menghasilkan konstruksi-konstruksi ini berdasarkan pilihan bebasnya (Wahab, 1989:7). Dengan demikian, parole adalah manifestasi individu dari bahasa. Jadi, parole itu bukan fakta sosial karena seluruhnya merupakan hasil individu yang sadar. Fakta sosial harus meliputi seluruh masyarakat dan menjadi kendala terhadapnya dan bukan memberinya pilihan bebas. Dalam masyarakat tentulah banyak parole dan realisasi dari kendala-kendala gramatikal suatu bahasa.
Gabungan parole dan kaidah bahasa oleh Saussure disebut langage. Walaupun meliputi seluruh masyarakat dan mengandung kendala sebagaimana terdapat dalam kaidah gramatikal, langage tidaklah memenuhi syarat sebagai fakta sosial karena terkandung di dalamnya faktor-faktor individu yang berasal dari pribadi penutur. Bila penutur pribadi dan perilakunya dimasukkan, selalu akan ada unsur kerelaan, yang merupakan unsur yang tak teramalkan. Langage tidak mempunyai prinsip keutuhan yang memungkinkan kita untuk menelitinya secara ilmiah.
Kalau kita tidak dapat menyisihkan unsur–unsur individu dari langage, maka kita dapat membuang unsur-unsur yang tak teramalkan. Dan kemudian kita akan memperoleh konsep bahasa yang sesuai dengan konsep fakta sosial. Inilah yang disebut langue. Saussure menggambarkannya sebagai “langage dikurangi parole”. Jelasnya, langue adalah keseluruhan kebiasaaan yang diperoleh secara pasif yang diajarkan oleh masyarakat bahasa, yang memungkinkan para penutur saling memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur dalam masyarakat. Menurut Saussure perhatian utama linguistik adalah langue, bukan parole.
Sebagaimana kesadaran kolektif hasil pemikiran Durkheim (Baert, 1998:13), langue sifatnya tidak sempurna dalam diri penutur. Dalam parole termasuk apapun yang diungkapkan penutur; langage mencakup apa pun yang diungkapkan serta kendala yang mencegahnya mengungkapkan hal-hal yang tidak gramatikal; dalam langue terdapat batas-batas negatif terhadap apa yang harus dikatakannya bila ia mempergunakan suatu bahasa secara gramatikal.
Dengan demikian langue tampaknya merupakan abstraksi. Saussure sendiri sadar akan hal itu, tetapi ia tidak merasa terhalang untuk mempelajari bahasa secara ilmiah karena (1) ia berpendirian bahwa “sudut pandang menciptakan objek penelitian, (2) tidak ada ilmu yang hanya mempelajari wujud-wujud konkret karena kalau demikian terpaksa ilmu itu mempelajari ciri-ciri individu yang tidak terbatas jumlahnya. Untuk membuat suatu penyelidikan ilmiah, menurut Saussure diperlukan “penyederhanaan secara konvensional atas data”, supaya objek dapat dibatasi secara tepat. Caranya ialah dengan mengabstrasikan hal-hal konkret yang dipelajari suatu ilmu. Dalam studi sinkronis kita mengabstrasikan fakta-fakta yang memang dalam perjalanan waktu berubah. Dengan demikian bahasa dapat diselidiki seolah-olah sebagai sistem atau sesuatu yang berkeadaan stabil, tanpa masa lampau atau masa depan.
Dapat disimpulkan bahwa Saussure berpandangan secara keseluruhan parole tidak dapat diselidiki karena bersifat heterogen. Sebaliknya langue dapat diselidiki karena bersifat konkret karena merupakan perangkat tanda bahasa yang disepakati secara kolektif. Tanda bahasa itu dapat diungkapkan menjadi lambang tulisan yang konvensional, sedangkan parole tidak mungkin digambarkan secara terinci karena ungkapan kata yang terkecil sekalipun melibatkan gerak otot yang tak terhitung jumlahnya yang sulit sekali dikenali dan ditandai dengan tulisan. Menurutnya, tanpa mempertimbangkan wicara bahasa dapat diselidiki secara ilmiah.
Ringkasnya, Saussure beranggapan bahwa aspek bahasa yang sepadan dengan fakta sosial itu sajalah yang merupakan objek penyelidikan ilmu linguistik. Langue bukannya fakta fisik, melainkan faktor sosial, yang dapat diselidiki secara ilmiah karena mengandung pola-pola di balik ujaran-ujaran penutur.
  • Synchronic (sinkronik) dan diachcronic (diakronik)
Kata “diakronik” berasal dari bahasa Yunani “dia” artinya sepanjang dan kata “chronos” yang berarti waktu. Dalam istilah linguistik, diakronik berarti studi bahasa dari waktu ke waktu. Sementara kata “sinkronik” juga berasal dari bahasa Yunani “syn” yang artinya bersama. Kata sinkronik artinya bersama dalam satu waktu. Dalam istilah linguistik, sinkronik berarti studi tentang kebahasaan untuk waktu tertentu. Dengan demikian, menurut Saussure bahasa dapat dilacak dari waktu ke waktu dan dipelajari untuk jangka waktu tertentu (Wahab, 1998:6; Baert, 1998:18; Crystal, 1974:6).
Menurut Saussure dalam menggunakan tanda-tanda bahasa yang menajdi unsure bahasa, para penutur tidak mesti tahu etimologi sebuah kata. Jarang mereka tahu perkembangan pembentukan kata yang dipergunakannya juga mereka tidak memerlukan pengetahuan itu untuk mempergunakan kata secara betul. Sepanjang hidupnya para penutur tidak perlu menyadari perubahan-perubahan dalam unsur-unsur bahasa lain.
Dari analogi ini nampak bahwa kajian sinkronis bahasa mempunyai beberapa keuntungan dari sudut praktis maupun ilmiah, lebih dari kajian historis. Pendekatan historis tidak dapat dimanfaatkan untuk mempelajari perkembangan bentuk-bentuk bahasa sampai diperoleh informasi yang andal tentang (1) hubungan sistematis di antara bentuk-bentuk itu dalam tahap bahasa sebelumnya, (2) perbedaan di antara hubungan sistematis dalam pelbagai tahap perkembangan bahasa. Ada kemungkinan bahwa data dari tahap sebelumnya sudah lenyap.
Jadi, linguistik historis dalam pandangan Saussure tidak ilmiah. Artinya, bidang ini memang tidak dan tidak dapat mempergunakan metode dan prinsip penyelidikan ilmiah. Untuk mempelajari sejarah suatu bahasa maupun untuk membandingkan dua bahasa yang berkerabat, deskripsi sinkronis yang cermat atas sekurang-kurangnya dua tahap yang sebanding tidak boleh ditinggalkan.
  • Mental dan Fisik
Dari segi mental, bahasa merupakan suatu totalitas pikiran dalam jiwa manusia. Secara fisik, bahasa adalah getaran udara yang lewat dalam suatu tabung dalam alat bicara manusia. Karena mental dan fisik manusia itu menjadi satu, maka bahasa merupakan pertemuan antara totalitas pikiran dalam jiwa dan getaran yang dibuat manusia melalui alat-alat bicaranya.
  • Valensi, Isi dan Pengertian
Langue dipandang Saussure sebagai perangkat hubungan di antara tanda batas yang stabil. Sebagaimana diungkapkan di atas, ada dua jenis hubungan, yaitu hubungan paradigmatik dan hubungan sintagmatik. Melalui kedua hubungan itulah tanda bahasa dapat diuraikan, dan hasilnya ialah pemerian tentang valensi. Konsep ini merupakan inti dari pandangan Saussure yang paling dasar tentang organisasi bahasa.
Pandangan Saussure itu dapat kita pahami dengan menerima kenyataan bahwa tanda bahasa itu penting, bukan sebagai peristiwa bunyi melainkan sebagai pengganti atau wakil dari unsur-unsur luar bahasa. Tanda itu pertama-tama kita kenal dengan mendegarnya, namun ucapan orang jarang kita perhatikan. Yang kita perhatikan ialah gagasan, benda atau situasi yang menarik perhatian kita melalui perhatian si pembicara. Di sini Saussure membedakan tugas ahli bahasa dengan tugas ahli bidang lain. Saussure membandingkan ahli bahasa dengan ahli zoologi dan astronomi. Jika seorang ahli zoologi menghadapi data secara “langsung”, maka ahli linguistik sama dengan ahli astronomi yang memperoleh data secara tidak langsung namun tidak dapat dibantah keberadaannya.
  1. B. MAKNA KATA “ TANDA “
Bagi de Saussure, bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang terdapat dalam suatu jaringan sistem dan dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap tanda dalam jaringan itu memiliki dua sisi yang tak terpisahkan seperti dua halaman pada selembar kertas. De Saussure memberikan contoh kata arbor dalam bahasa Latin yang maknanya ‘pohon’. Kata ini adalah tanda yang terdiri atas dua segi yakni /arbor/ dan konsep pohon. Signifiant /arbor/ disebutnya sebagai citra akustik yang mempunyai relasi dengan konsep pohon (bukan pohon tertentu) yakni signifie. Tidak ada hubungan langsung dan alamiah antara penanda ( signifier) dan petanda (signified). Hubungan ini disebut hubungan yang arbitrer. Hal yang mengabsahkan hubungan itu adalah mufakat (konvensi) …’a body of necessary conventions adopted by society to enable members of society to use their language faculty (de Saussure, 1986:10).
Tanda menurut Peirce adalah something which stands to somebody for something in somerespect or capacity. Kemudian ia juga mengatakan bahwa every thought is a sign. Van Zoest (1993) memberikan lima ciri dari tanda yaitu :
  • Pertama, tanda harus dapat diamati agar dapat berfungsi sebagai tanda. Sebagai contoh van Zoest menggambarkan bahwa di pantai ada orang-orang duduk dalam kubangan pasir, di sekitar kubangan di buat semacam dinding pengaman (lekuk) dari pasir dan pada dinding itu diletakkan kerang -kerang yang sedemikian rupa sehingga membentuk kata ‘Duisburg’ maka kita mengambil kesimpulan bahwa di sana duduk orang-orang Jerman dari Duisburg. Kita bisa sampai pada kesimpulan itu, karena kita tahu bahwa kata tersebut menandakan sebuah kota di Republik Bond. Kita menganggap dan menginterpretasikannya sebagai tanda.
  • Kedua, tanda harus ‘bisa ditangkap’ merupakan syarat mutlak. Kata Duisburg dapat ditangkap, tidak penting apakah tanda itu diwujudkan dengan pasir, kerang atau ditulis di bendera kecil atau kita dengar dari orang lain.
  • Ketiga, merujuk pada sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak hadir. Dalam hal ini Duisburg merujuk kesatu kota di Jerman. Kata Duisburg merupakan tanda karena ia ‘merujuk pada’, ‘menggantikan’, ‘mewakili‘ dan ‘menyajikan’.
  • Keempat, tanda memiliki sifat representatif dan sifat ini mempunyai hubungan langsung dengan sifat interpretatif, karena pada kata Duisburg di kubangan itu bukannya hanya terlihat adanya pengacauan pada suatu kota di Jerman, tetapi juga penafsiran ‘di sana duduk –dudukorang Jerman’.
  • Kelima, sesuatu hanya dapat merupa -kan tanda atas dasar satu dan lain. Peirce menyebutnya dengan ground (dasar, latar) dari tanda.

  1. C. MACAM-MACAM SEMIOTIK
Seperti yang telah dijelaskan diatas tentang apa yang dimaksud dengan “ TANDA” menurut Teori Saussure. Semiotik juga memiliki berbagai macam bentuk dan jenis-jenisnya yaitu :
  1. 1. Semiotika Komunikasi
Tanda-tanda tersebut kemudian dimaknai sebagai wujud dalam memahami kehidupan. Manusia melalui kemampuan akalnya berupaya berinteraksi dengan menggunakan tanda sebagai alat untuk berbagai tujuan, salah satu tujuan tersebut adalah untuk berkomunikasi dengan orang lain sebagai bentuk adaptasi dengan lingkungan.
Komunikasi bukan hanya sebagai proses, melainkan komunikasi sebagai pembangkitan makna (the generation of meaning) . Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, setidaknya orang lain tersebut memahami maksud pesan kita, kurang lebih secara tepat. Supaya komunikasi dapat terlaksana, maka kita harus membuat pesan dalam bentuk tanda (bahasa, kata). Pesan-pesan yang kita buat, medorong orang lain untuk menciptakan makna untuk dirinya sendiri yang terkait dalam beberapa hal dengan makna yang kita buat dalam pesan kita. Semakin banyak kita berbagi kode yang sama, makin banyak kita menggunakan sistim tanda yang sama, maka makin dekatlah “makna” kita dengan orang tersebut atas pesan yang datang pada masing-masing kita dengan orang lain tersebut.
  1. 2. Semiotika Sosial
Semiotika sosial, adalah sebuah “pisau†yang bisa kita gunakan untuk menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang yang berwujud kata maupun lambang yang berwujud kata dalam kalimat (Alex Sobur, 2001).

  1. 3. Media
Mempelajari media adalah mempelajari makna dari mana asalnya, seperti apa, seberapa jauh tujuannya, bagaimanakah ia memasuki materi media, dan bagaimana ia berkaitan dengan pemikiran kita sendiri.Dalam konteks media massa, khusunya media cetak kajian semiotika adalah mengusut ideologi yang melatari pemberitaan.
  1. 4. Periklanan
Dalam perspektif semiotika iklan dikaji lewat sistem tanda dalam iklan, yang terdiri atas 2 lambang yakni lambang verbal (bahasa) dan lambang non verbal (bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan).
  1. 5. Tanda Nonverbal
Komunikasi nonverbal adalah semua tanda yang bukan kata – kata dan bahasa.
  1. 6. Film
Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau semiotika. Van Zoest, film dibangun dengan tanda semata-mata. Pada film digunakan tanda – tanda ikonis, yakni tanda – tanda yang menggambarkan sesuatu. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya.
  1. 7. Komik, Kartun dan Karikatur
Komik adalah cerita bergambar dalam majalah, surat kabar, atau berbentuk buku yang pada umumnya mudah dicerna dan lucu. Kartun adalah sebuah gambar lelucon yang muncul di media massa, yang hanya berisikan humor semata, tanpa membawa beban kritik sosial apapun. Karikatur adalah deformasi berlebihan atas wajah seseorang, biasanya orang terkenal, dengan mempercantiknya dengan penggambaran ciri khas lahiriyahnya untuk tujuan mengejek (Sudarta,1987). Empat teknis yang harus diingat sebagai karikatur adalah, harus informatif dan komunikatif, harus situasional dengan pengungkapan yang hangat, cukup memuat kandungan humor, harus mempunyai gambar yang baik. Semula karikatur hanya merupakan selingan atau ilustrasi belaka. Namun pada perkembangannya, karikatur dijadikan sarana untuk menyampaikan kritik yang sehat karena penyampaiannya dilakukan dengan gambar – gambar lucu dan menarik bahkan tidak jarang membuat orang yang dikritik justru tersenyum.
Tommy Christomy ——— Secara formal proses semiosis yang paling dominan dalam kartun adalah gabungan atau proposisi (visual dan verbal) yang dibentuk oleh kombinasi tanda argumen indexical legisign.
Untuk menganalisis kartun atau komik-kartun, seyogianya kita menempatkan diri sebagai kritikus agar secara leluasa dapat melakukan penilaian dan memberi tafsiran terhadap komik-kartun tersebut.
  1. 8. Sastra
Santosa —— Dalam lapangan sastra, karya sastra dengan keutuhannya secara semiotik dapat dipandang sebagai sebuah tanda. Sebagai suatu bentuk, karya sastra secara tulis akan memiliki sifat kerungan. Dimensi ruang dan waktu dalam sebuah cerita rekaan mengandung tabiat tanda-menanda yang menyiratkan makna semiotika.
  1. 9. Musik
Sistem tanda musik adalah oditif. Bagi semiotikus musik, adanya tanda – tanda perantara, yakni, musik yang dicatat dalam partitur orkestra, merupakan jalan keluar. Hal ini sangat memudahkan dalam menganalisis karya musik sebagai teks. Itulah sebabnya mengapa penelitian musik semula terutama terarah pada sintaksis. Meski demikian, semiotika tidak dapat hidup hanya dengan mengandalkan sintaksis karena tidak ada semiotika tanpa semantik juga tidak ada semiotika musik tanpa semantik musik.


BAB III
PENUTUP
  1. A. SIMPULAN
Adapun kesimpulan yang saya ambil berdasarkan pembahasan diatas yaitu :
  1. Pokok dari teori Saussure adalah prinsip yang mengatakan bahwa bahasa itu adalah suatu sistem tanda dan setiap tanda tersusun dari dua bagian, yaitu signifier dan signified. Menurut Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (sign). Saussure menggunakan pendekatan anti-historis yang melihat bahasa sebagai sistem yang utuh dan harmonis secara internal (language). Ia mengusulkan teori bahasa yang disebut “strukturalisme”.
  2. Ada enam pandangan dari Saussure yang dikemudian hari menjadi peletak dasar dari strukturalisme Levi-Strauss, yaitu pandangan tentang :
  3. Signifier (penanda) dan signified (petanda)
  4. Syntagmatic dan associative ( paradigmatik).
  5. Langue (bahasa) dan parole (tuturan, ujaran), langage.
  6. Synchronic (sinkronik) dan diachcronic (diakronik)
  7. Mental dan Fisik
  8. Valensi, Isi dan Pengertian
  9. Van Zoest (1993) memberikan lima ciri dari tanda yaitu :
  • Pertama, tanda harus dapat diamati agar dapat berfungsi sebagai tanda.
  • Kedua, tanda harus ‘bisa ditangkap’ merupakan syarat mutlak.
  • Ketiga, merujuk pada sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak hadir.
  • Keempat, tanda memiliki sifat representatif dan sifat ini mempunyai hubungan langsung dengan sifat interpretative.
  • Kelima, sesuatu hanya dapat merupakan tanda atas dasar satu dan lain.
  • Dasar kode. Ada tanda jenis lain yang berdasarkan interpretasi individual dan insidental atau berdasarkan pengalaman pribadi.


DAFTAR PUSTAKA
Wahab, Abdul. 1989. “Kontroversi dalam Linguistik dan Atmosfir Keilmuan di Indonesia”, Makalah pada Pertemuan Ilmiah MLI (Masyarakat Linguistik Indonesia) Regional Jawa Timur di Malang, 20-21 Oktober 1989.
Kridalaksana, Harimurti. 1988. “Mongin Ferdinand de Saussure (1857-1913): Bapak Linguistik Modern dan Pelopor Strukturalisme. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Hoed, B.H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Unversitas Indonesia.
http://studioarsitektur.com . Sistem Tanda, Semiotika Teks, dan Teori Kode.
Martinet Jeanne. Antara Semiologi Komunikasi dan Semiologi Signifikansi. www.Jalasutra.com




Baca juga artikel dibawah ini
Comments
0 Comments